ACAB the Movie. Now it’s the right time for Indonesia to remake this, even with the facing risk of being banned by the fucking government

Nonton ini di Loklok pas kumpul keluarga dan dari sekian banyak film-film bagus yang bisa dipilih di sana, entah kenapa malah berakhir dipilihin film antah berantah ini 🙃 CGI nya super duper murahan kek sinetron, nyaris semua karakternya bodoh, make up zombie nya konyol. 1 bintang untuk adegan gorenya yang lumayan brutal
Yang pertama aja nggak suka, eh malah maksain nonton yang kedua wkwk.
Udah tidur 8 jam dan (nyaris) ditambahin lagi sama film ini. Dari awal emang bikin ngantuk sih, walau di first act nya masih lumayan menarik. Lama-kelamaan udah ga peduli karena efek bikin ngantuknya makin mujarab. Even adegan actionnya yang cukup gory pun nggak menarik untuk diikuti.
Premis menarik tapi tidak dieksekusi dengan menarik pula.
Mencoba mengupas sejauh mana manusia dapat mempertahankan kompas moralnya ketika memutuskan untuk menabuh genderang perang. Namun, eksekusinya terlalu lambat dan terlalu banyak memasukkan drama tarik ulur berbelit-belit yang tak penting, sehingga malah bikin geregetan dan misuh-misuh sepanjang nonton, LOL
At least bisa dikasih 3 karena endingnya sedikit di luar dugaan.
Religion is flawed, but only because man is flawed.
Materi filmnya tidak seberat sang pendahulu, yang cenderung mengotak-atik sejarah agama. Pada installment kedua ini, ceritanya melibatkan konspirasi terkait organisasi rahasia Illuminati, yang sepertinya merupakan teori konspirasi terpopuler bagi orang awam, sehingga lebih mudah dinikmati. Eksekusinya sukses bikin penasaran sekaligus geregetan.
Sayangnya, seluruh kelebihan tadi terasa lenyap menurutku. Karena plot twist-nya antiklimaks banget. Terasa unbelieveable dan konyol, mengingat kemunculan sebuah adegan heroik yang cukup mengharukan sebelum plot twist tersebut ter-reveal.
Wow. Kontroversial tapi juga harus diakui cerdas dalam mengutak-atik unsur sejarah dari ajaran Kristen/Katolik. Scriptnya berhasil membedah itu semua dengan sangat baik dan diberikan latar belakang dan teori-teori yang cukup jelas, tidak asbun alias asal bunyi. Tema berat dan memusingkan seperti ini mengingatkan pada Interstellar, tapi dalam versi sejarah agama dan juga dengan versi pacing yang cepat.
Saya pribadi biasa saja dengan brutalnya pengubahan-pengubahan pada film ini. Walau memang sempat kaget karena beberapa pengubahannya sudah di taraf berbahaya dan triggering. Namun,…
Hanya memanfaatkan 1 bangunan megah sebagai latar tempat, tapi bisa dengan sangat baik mengeksplor borok dari beberapa tokoh, yang memiliki status sebagai ”kiblat para umat Katolik di seluruh dunia”.
Conclave punya segi teknis yang teramat sinematik. Dari komposisi gambar yang cantik dan artistik, hingga ke suara yang sukses mempermainkan psikologis penonton. Eksekusi jumpscarenya mengingatkan pada Siksa Kubur (2024) karena dilatarbelakangi oleh konteks yang sama.
Isu-isu kekinian pun turut ditebar di sini. Mulai dari gender hingga islamophobia. Senang melihat keduanya disampaikan dengan…
Bingung mau lebih suka yang ini atau Missing karena ratingnya sama. Di Missing, gue dibuat kagum sama pergerakan kamera-nya yang megah dan memanjakan mata. Sebaliknya, Searching ini secara visual bagus aja, walau nggak se-wow Missing. Apparently, Searching lebih fokus ke bagian penceritaannya karena dia dengan sangat pintar mengecoh penonton melalui revealing plot twist yang amat shocking alias kayak ngeledek penonton “surprise motherf*cker!“ dan very very unpredictable. Well, in the end, dua-duanya sama-sama bagus!
Pas liat trailernya jadi agak dejavu kalo pernah nonton pra-Letterboxd era. Well, setelah kelar nonton, nggak heran sih kalo emang sebelumnya beneran pernah nonton dan lupa. Karena yang bisa diingat cuma ketololan demi ketololan yang filmnya sajikan.
Hanya bisa menikmati segmen actionnya dan of course "Ada-Indonesia-coy" scene that makes nationalist blood in me getting orgasm so fucking high HAHAHA, sekalipun dari beberapa aspek “ngga nge-Indonesia banget“ (well, nama negara di Mile 22 memang bukan Indonesia sih, tapi disebut sebagai Indocarr).…
Nonton sama keluarga dan mereka misuh-misuh karena treatment penceritaannya yang cukup unik untuk ukuran film Indo, lol. Minim jumpscare pula tp intensitasnya cukup berhasil buat bikin nggak nyaman. Terlebih dengan pengarahan kamera yang shaky, sehingga filmnya feels so real. Third act nya itu bagian terbaik sih in my opinion. Namun, aku kurang suka dengan penggunaan Bahasa Inggris di film ini karena sama sekali nggak ada urgensinya.
Akhirnya, nemu lagi another movie yang bikin jiwa aerophobia gue menari-nari!
Entah di menit ke berapa pas gue nonton ini, gue sampe bilang “ini penulis naskahnya gila sih!” karena dengan durasi super lama kayak 2 jam lebih 27 menit, ceritanya bisa dibikin muter-muter ke sana ke mari membawa alamat sampe membuat gue gelisah, deg-deg-an, dan hopeless mau ditutup kek gimana ini film. Akan tetapi, on the another side, intensitasnya seolah bisa banget menahan gue buat melupakan perasaan-perasaan tadi, tetep memfokuskan…